TIDAK ada yang istimewa pada gerobak milik Haryati
yang berjejer di antara gerobak kaki lima di seberang Pasar Johar,
Semarang. Namun, gerobak yang dijadikan usaha ayam goreng kaki lima ala
Amerika yang dirintisnya 16 tahun terakhir ini selalu saja ramai
disambangi pembeli. Bahkan fried chicken dengan label “Sekar Arum” yang
dijual dengan harga rata-rata Rp 4 ribu ini bisa ludes hanya dalam waktu
3-4 jam. Pembeli ayam goreng tepung buatan Haryati ini pun cuma berasal
dari pengunjung pasar dan warga sekitar saja.
“Saya ambil daging ayam dari Salatiga. Dalam sebulan biasanya
menghabiskan ayam potong sekitar 30 kuintal. Kalau sekilo jadi 15
potong, ya omsetnya sekitar Rp 20 jutaan,” jelas Haryati.
Tidak hanya “Sekar Arum”, di sekitar pasar terbesar di Semarang ini
juga terdapat usaha serupa dan usaha makanan lainnya yang menggunakan
daging ayam sebagai bahan baku utama. Sajian ayam sudah menjadi menu
yang lazim ada dalam daftar menu baik di resto mahal maupun di warung
kaki lima.
Ya, tak memungkiri, jumlah penduduk Indonesia yang sebagian besar
menyukai daging ayam merupakan potensi sangat besar bagi industri hilir
seperti makanan olahan, Termasuk restoran waralaba cepat saji (fast food).
Sebut saja PT Fastfood Indonesia, Tbk yang menaungi usaha warabala
restoran KFC yang terus menambah gerai di kota besar di Indonesia hingga
417 unit dengan keuntungan penjualan kuartal 1 pada2012 mencapai Rp
840,7 miliar, tumbuh 10-15 persen dari realisasi periode yang sama di
tahun 2011 sebesar Rp 731 miliar.
Belum lagi usaha serupa seperti McDonald, California Fried Chicken,
dan brand fast food lain yang bertebaran di berbagai kota besar.
Menurut Departemen Riset IFT, kenaikan konsumsi ayam terjadi karena
meningkatnya populasi penduduk dan daya beli masyarakat. Ini terlihat
dari data BPS tahun 2010 yang menyebutkan, populasi ternak unggas ayam
pedaging mencapai 1,25 milyar ekor, ayam petelur sebanyak 104 juta ekor,
ayam bukan ras (buras) sebanyak 270 juta ekor.
Don P Utoyo, Ketua Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia, mengatakan,
omset industri perunggasan 2012 diperkirakan mencapai Rp 120 triliun,
meningkat 9,1% (yearon-year) dari proyeksi omset tahun 2011 sebesar Rp
110 triliun. Kenaikan omset ini didorong peningkatan penjualan di segmen
bibit ayam, pakan ternak, budidaya ayam, dan obat obatan hewan.
Industri Hilir
Pesatnya industri hilir dengan konsumsi unggas yang begitu besar itulah
yang membuat industri hulu seperti pakan ternak, pembibitan dan
obat-obatan dalam negeri memiliki peluang bisnis yang menjanjikan bagi
perusahaan yang bergerak dalam bidang peternakan. Terlebih lagi,
kebutuhan pakan menyedot kontribusi hingga 70% dari total biaya produksi
peternakan.
Seperti tiga emiten peternakan besar yakni, PT Charoen Pokphand
Indonesia (CPIN), PT Japfa ComfeedIndonesia (JPFA), dan PT Malindo
Feedmill Tbk (MAIN) yang terus gencar melakukan ekspansi di lini bisnis
hilir maupun hulu untuk mengantisipasi tren kenaikan konsumsi ayam
nasional.
Ketiga perusahaan itu terus meningkatkan kapasitas anak ayam umur sehari atau day old chicken
(DOC) dan pabrik pakan dengan menyisihkan dana Rp 1,5 trilliun untuk
ekspansi di tiga divisi, yaitu pakan ternak, peternakan DOC, dan makanan
olahan untuk meningkatkan kapasitas produksi melalui perluasan pabrik.
Atau PT Malindo Feedmill Tbk (MAIN) yang pembangunan pabrik pakan
ternak berkapasitas mixer sebesar 300 ton per tahun dan pembangunan tiga
farm day old chick (DOC) dan membangun bisnis downstream yaitu pabrik
pengolahan makanan, dengan omzet berkisar Rp 80 miliar.
Memang, investasi asing seperti Charoen Pokphan (Thailand), Cheil
Jedang (Korea), Japfa Comfeed, Sierad ( Malaysia) masih mendominasi
dengan menguasai hingga 80% pasar industri peternakan ayam komersial di
Indonesia karena terintegrasi dengan industri pakan ternak dan
pengolahan produk ternak.
Kemitraan
Sedangkan peternakan rakyat yang jumlahnya lebih banyak dari pabrikan
besar kini mulai tersingkir karena tidak menggunakan teknologi modern
dan kendala investasi. Sehingga sejumlah produsen besar kemudian
mengembangkan pola kemitraan dengan menjalin kerjasama dengan
perternakan rakyat melalui konsep contract farming antara
produsen pakan ternak besar dengan para peternakan rakyat yang
memelihara ayam untuk sebuah perusahaan yang terintegrasi secara
vertikal.
Biasanya peternak menyediakan tanah, kandang, peralatan dan tenaga
kerja. Sedangkan perusahaan memberi fasilitas pemeliharaan dan sapronak
(sarana produksi peternakan) seperti DOC, pakan, obatan-obatan, dan
pengarahan manajemen dengan sistem bagi hasil.
Namun, kendati kebutuhan daging ayam sudah swasembada, perkembangan
industri perunggasan seperti obat hewan serta pakan ternak seperti
jagung bungkil kedelai, tepung ikan masih sangat bergantung pada impor.
Bibit unggas, GPS (grand parent stock) maupun PS (parent stock) baik
broiler maupun layer juga masih mengandalkan impor karena 12 perusahaan
pembibitan ayam GPS dan 39 perusahaan pembibitan ayam parent stock (PS)
tidak mampu memenuhi pasokan.
Perusahaan masih impor karena di dalam negeri belum dapat produksi
indukan ayam (GPS dan PS) tersebut, lonjakan impor memang menyolok, tapi
itu terpaksa kita lakukan,” Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan
Unggas (GPPU) IndonesiaKrissantono.
Tahun 2020, dengan populasi penduduk Indonesia diperkirakan mencapai
250 juta jiwa, target konsumsi daging ayam broiler adalah 8 kg/kap/th,
sehingga dibutuhkan angka produksi DOC ayam broiler sebesar 38juta
ekor/minggu.
Sehingga untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia yang
tumbuh 13% butuh produksi anak ayam rata-rata sebesar 31 juta ekor per
pekan atau 1,5 miliar ekor per tahun.
Karena itu, prospek industri perunggasan memegang peranan sangat
penting. Industri ini tumbuh dan berkembang pesat menjadi industri yang
terintegrasi dari hulu sampai hilir. Bahkan, industri ini memberikan
kontribusi sebesar 65% dari total produksi daging nasional.
Tapi, ironisnya meskipun sumber protein daging ayam mudah diakses
masyarakat, namun capaian tingkat konsumsi protein hewani di Indonesia
masih di bawah standar kecukupan gizi. Konsumsi daging ayam dengan
penduduk 240 juta jiwa masih relatif rendah dibanding negara-negara
tetangga. Konsumsi ayam untuk Indonesia tahun 2011 sekitar 7
kg/kapita/tahun jauh dibawah Malaysia yang mencapai 36 kg/ kapita/tahun.
(non)
Kebutuhan Pakan Ternak di Indonesia*
Tahun Kebutuhan
2008 9,9 juta ton
2009 9,7 juta ton
2010 11,2 juta ton
2011 12,3 juta ton
*data : berbagai sumber
Impor Grand Parent Stock (GPS) Unggas*
Tahun Impor
2007 361.460 ekor
2008 370.036 ekor
2009 404.774 ekor
2010 402.414 ekor
2011 480 ribu ekor
*data : Direktorat Jenderal Peternakan
sumber: http://farmingbusinessindonesia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar