Kamis, 02 Mei 2013

Kebutuhan Daging Ayam Terus Melambung

TIDAK ada yang istimewa pada gerobak milik Haryati yang berjejer di antara gerobak kaki lima di seberang Pasar Johar, Semarang. Namun, gerobak yang dijadikan usaha ayam goreng kaki lima ala Amerika yang dirintisnya 16 tahun terakhir ini selalu saja ramai disambangi pembeli. Bahkan fried chicken dengan label “Sekar Arum” yang dijual dengan harga rata-rata Rp 4 ribu ini bisa ludes hanya dalam waktu 3-4 jam. Pembeli ayam goreng tepung buatan Haryati ini pun cuma berasal dari pengunjung pasar dan warga sekitar saja.

“Saya ambil daging ayam dari Salatiga. Dalam sebulan biasanya menghabiskan ayam potong sekitar 30 kuintal. Kalau sekilo jadi 15 potong, ya omsetnya sekitar Rp 20 jutaan,” jelas Haryati.

Tidak hanya “Sekar Arum”, di sekitar pasar terbesar di Semarang ini juga terdapat usaha serupa dan usaha makanan lainnya yang menggunakan daging ayam sebagai bahan baku utama. Sajian ayam sudah menjadi menu yang lazim ada dalam daftar menu baik di resto mahal maupun di warung kaki lima.

Ya, tak memungkiri, jumlah penduduk Indonesia yang sebagian besar menyukai daging ayam merupakan potensi sangat besar bagi industri hilir seperti makanan olahan, Termasuk restoran waralaba cepat saji (fast food). Sebut saja PT Fastfood Indonesia, Tbk yang menaungi usaha warabala restoran KFC yang terus menambah gerai di kota besar di Indonesia hingga 417 unit dengan keuntungan penjualan kuartal 1 pada2012 mencapai Rp 840,7 miliar, tumbuh 10-15 persen dari realisasi periode yang sama di tahun 2011 sebesar Rp 731 miliar.
Belum lagi usaha serupa seperti McDonald, California Fried Chicken, dan brand fast food lain yang bertebaran di berbagai kota besar.

Menurut Departemen Riset IFT, kenaikan konsumsi ayam terjadi karena meningkatnya populasi penduduk dan daya beli masyarakat. Ini terlihat dari data BPS tahun 2010 yang menyebutkan, populasi ternak unggas ayam pedaging mencapai 1,25 milyar ekor, ayam petelur sebanyak 104 juta ekor, ayam bukan ras (buras) sebanyak 270 juta ekor.

Don P Utoyo, Ketua Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia, mengatakan, omset industri perunggasan 2012 diperkirakan mencapai Rp 120 triliun, meningkat 9,1% (yearon-year) dari proyeksi omset tahun 2011 sebesar Rp 110 triliun. Kenaikan omset ini didorong peningkatan penjualan di segmen bibit ayam, pakan ternak, budidaya ayam, dan obat obatan hewan.

Industri Hilir

Pesatnya industri hilir dengan konsumsi unggas yang begitu besar itulah yang membuat industri hulu seperti pakan ternak, pembibitan dan obat-obatan dalam negeri memiliki peluang bisnis yang menjanjikan bagi perusahaan yang bergerak dalam bidang peternakan. Terlebih lagi, kebutuhan pakan menyedot kontribusi hingga 70% dari total biaya produksi peternakan.

Seperti tiga emiten peternakan besar yakni, PT Charoen Pokphand Indonesia (CPIN), PT Japfa ComfeedIndonesia (JPFA), dan PT Malindo Feedmill Tbk (MAIN) yang terus gencar melakukan ekspansi di lini bisnis hilir maupun hulu untuk mengantisipasi tren kenaikan konsumsi ayam nasional.

Ketiga perusahaan itu terus meningkatkan kapasitas anak ayam umur sehari atau day old chicken (DOC) dan pabrik pakan dengan menyisihkan dana Rp 1,5 trilliun untuk ekspansi di tiga divisi, yaitu pakan ternak, peternakan DOC, dan makanan olahan untuk meningkatkan kapasitas produksi melalui perluasan pabrik.

Atau PT Malindo Feedmill Tbk (MAIN) yang pembangunan pabrik pakan ternak berkapasitas mixer sebesar 300 ton per tahun dan pembangunan tiga farm day old chick (DOC) dan membangun bisnis downstream yaitu pabrik pengolahan makanan, dengan omzet berkisar Rp 80 miliar.

Memang, investasi asing seperti Charoen Pokphan (Thailand), Cheil Jedang (Korea), Japfa Comfeed, Sierad ( Malaysia) masih mendominasi dengan menguasai hingga 80% pasar industri peternakan ayam komersial di Indonesia karena terintegrasi dengan industri pakan ternak dan pengolahan produk ternak.

Kemitraan

Sedangkan peternakan rakyat yang jumlahnya lebih banyak dari pabrikan besar kini mulai tersingkir karena tidak menggunakan teknologi modern dan kendala investasi. Sehingga sejumlah produsen besar kemudian mengembangkan pola kemitraan dengan menjalin kerjasama dengan perternakan rakyat melalui konsep contract farming antara produsen pakan ternak besar dengan para peternakan rakyat yang memelihara ayam untuk sebuah perusahaan yang terintegrasi secara vertikal.

Biasanya peternak menyediakan tanah, kandang, peralatan dan tenaga kerja. Sedangkan perusahaan memberi fasilitas pemeliharaan dan sapronak (sarana produksi peternakan) seperti DOC, pakan, obatan-obatan, dan pengarahan manajemen dengan sistem bagi hasil.

Namun, kendati kebutuhan daging ayam sudah swasembada, perkembangan industri perunggasan seperti obat hewan serta pakan ternak seperti jagung bungkil kedelai, tepung ikan masih sangat bergantung pada impor.

Bibit unggas, GPS (grand parent stock) maupun PS (parent stock) baik broiler maupun layer juga masih mengandalkan impor karena 12 perusahaan pembibitan ayam GPS dan 39 perusahaan pembibitan ayam parent stock (PS) tidak mampu memenuhi pasokan.

Perusahaan masih impor karena di dalam negeri belum dapat produksi indukan ayam (GPS dan PS) tersebut, lonjakan impor memang menyolok, tapi itu terpaksa kita lakukan,” Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) IndonesiaKrissantono.

Tahun 2020, dengan populasi penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 250 juta jiwa, target konsumsi daging ayam broiler adalah 8 kg/kap/th, sehingga dibutuhkan angka produksi DOC ayam broiler sebesar 38juta ekor/minggu.

Sehingga untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia yang tumbuh 13% butuh produksi anak ayam rata-rata sebesar 31 juta ekor per pekan atau 1,5 miliar ekor per tahun.

Karena itu, prospek industri perunggasan memegang peranan sangat penting. Industri ini tumbuh dan berkembang pesat menjadi industri yang terintegrasi dari hulu sampai hilir. Bahkan, industri ini memberikan kontribusi sebesar 65% dari total produksi daging nasional.

Tapi, ironisnya meskipun sumber protein daging ayam mudah diakses masyarakat, namun capaian tingkat konsumsi protein hewani di Indonesia masih di bawah standar kecukupan gizi. Konsumsi daging ayam dengan penduduk 240 juta jiwa masih relatif rendah dibanding negara-negara tetangga. Konsumsi ayam untuk Indonesia tahun 2011 sekitar 7 kg/kapita/tahun jauh dibawah Malaysia yang mencapai 36 kg/ kapita/tahun. (non)

Kebutuhan Pakan Ternak di Indonesia*

Tahun Kebutuhan
2008 9,9 juta ton
2009 9,7 juta ton
2010 11,2 juta ton
2011 12,3 juta ton
*data : berbagai sumber


Impor Grand Parent Stock (GPS) Unggas*

Tahun Impor
2007 361.460 ekor
2008 370.036 ekor
2009 404.774 ekor
2010 402.414 ekor
2011 480 ribu ekor
*data : Direktorat Jenderal Peternakan


sumber: http://farmingbusinessindonesia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar