Krisis harga daging sapi yang terjadi di Indonesia membuat berbagai
pihak angkat bicara. Krisis harga daging ini dikhawatirkan mempengaruhi
konsumsi daging perkapita orang Indonesia. Secara umum, konsumsi pangan
bergizi rata-rata masyarakat Indonesia masih rendah, padahal ini sangat
penting untuk meningkatkan kecerdasan bangsa. Konsumsi protein hewani
masyarakat saat ini baru mencapai 5,72 gram/kapita/tahun, yang berarti
masih di bawah standar konsumsi gizi nasional yang 6,5
gram/kapita/tahun. Rendahnya pola konsumsi pangan bergizi ini akibat
kurangnya pengetahuan, kebiasaan, serta rendahnya daya beli masyarakat.
Ketua Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia (FMPI), Don P. Utoyo, di
Jakarta (Rabu, 24/4), menjelaskan daging merupakan sumber protein hewani
yang bermutu tinggi dan perlu dikonsumsi oleh anak-anak dan orang
dewasa. Karena asam amino yang terkandung dalam daging dapat berfungsi
untuk memperbaiki sel-sel tubuh yang rusak. Terkait rendahnya daya beli
masyarakat, sebenarnya daging ayam atau telor masih banyak yang bisa
menjangkaunya. Telor, misalnya, dibandingkan dengan sumber protein yang
lainnya, relatif lebih murah dan lebih tinggi kandungan proteinnya.
Dijelaskan saat ini kesadaran masyarakat terhadap pentingnya mengonsumsi
daging ayam dan telur bagi kesehatan, pertumbuhan serta kecerdasan
anak-anak dan keluarga masih sangat rendah. Besarnya kandungan nutrisi
pada ayam dan telur tersebut tentunya berpengaruh kualitas gizi yang
diperoleh masyarakat terutama bila dikonsumsi sejak anak anak. Bila
dibandingkan dengan Malaysia, konsumsi daging ayam Indonesia per
kapita/tahun jauh lebih rendah. Indonesia per kapita/tahun hanya 7 kg,
sedangkan Malaysia 40 kg per kapita/tahun. “Harus kita akui, memang
masih rendah tingkat konsumsi daging ayam kita,” kata Don.
Meskipun masih rendah, Don memperkirakan tahun 2013 kebutuhan daging
ayam naik sebesar 15,79% dibandingkan tahun 2012. Utoyo menyebutkan
konsumsi daging ayam pada 2013 ini bisa mencapai 2,2 juta miliar ekor.
Sedangkan konsumsi ayam pada tahun lalu sebesar 1,9 juta miliar ekor.
Kenaikan konsumsi daging ayam ini karena kenaikan daya beli dari
masyarakat. Utoyo tidak berani memastikan, apakah kenaikan konsumsi
daging ayam dipicu mahalnya harga daging sapi. Yang pasti, kata Utoyo,
kenaikan permintaan daging ayam membawa konsekuensi kenaikan harga
daging ayam.
Dijelaskan, tahun 2011 Indonesia menempati urutan ke-124 dari 187 negara
dalam hal tingkat konsumsi daging ayam berdasarkan data UNDP. Harga
daging ayam di Indonesia relatif lebih mahal karena peternakan Indonesia
belum mampu swasembada sehingga kebutuhan daging ayam masih diimpor.
Negara dengan produksi ayam terbesar dikuasai Amerika, China, dan Brasil
yang sudah ekspor 13 miliar ekor/tahun, sementara produksi ayam
Indonesia hanya 2,5 juta ekor/tahun. Bandingkan dengan penduduk
Indonesia yang mencapai 240 juta jiwa.
Indonesia tidak saja rendah dalam mengkonsumsi daging ayam, tetapi
daging sapi juga. Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo),
Anton Supit, mengatakan terkait masalah daging sapi, sebanyak 99,7% sapi
dikuasai oleh peternak rakyat. Sehingga untuk mendapatkan sapi di
Indonesia sedikit lebih sulit, terlebih prinsip peternak adalah
menabung. Menurut Anton, peternak rakyat sifatnya menabung, sehingga
menjadi sulit untuk segera mendapatkan sapi. Selain itu, yang harus
diperbaiki adalah pola transportasi sapi untuk masuk ke Jawa. Menurut
Anton, 60% populasi sapi di Indonesia berada di luar Pulau Jawa. Anton
menilai tata niaga perdagangan perlu dikembalikan kepada Kementerian
Perdagangan. “Tugas dari Kementerian Pertanian fokus pada masalah
produksi saja tidak untuk perdagangan,” katanya.
(ST)
(sumber: http://www.businessnews.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar